Senin, 10 November 2008

PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN SAINS BERBASIS INFORMATION COMMUNICATION AND TECHNOLOGY (ICT) PADA JENJANG PENDIDIKAN DASAR

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mutu pendidikan sains di Indonesia masih rendah. Sebagai contoh, hasil studi the Third International Mathematics and Science Study-Repeat (TIMSS-R : 999, dalam Tim BBE Depdiknas : 2001) melaporkan prestasi siswa SLTP di Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA dan pada urutan 34 untuk matematika dari 38 negara peserta yang distudi di Asia, Australia dan Afrika. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Dirjen Dikdasmen (2002) yang menyatakan beberapa indikasi bahwa mutu pendidikan di Indonesia belum meningkat yakni : (1) ketidakpuasan berjenjang, dimana sekolah lanjutan merasakan bahwa bekal siswa yang masuk (lulusan sekolah sebelumnya) kurang baik, (2) gejala lulusan SLTP dan sekolah menengah yang menjadi pengangguran di pedesaan karena tidak mampu menerapkan pengetahuan yang didapat di sekolah dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh dinyatakan bahwa 34,4 % lulusan SLTP tidak melanjutkan ke sekolah menengah. Selain pemahaman, faktor penunjang rendahnya mutu pendidikan sains adalah kurang dikembangkannya keterampilan berpikir dan keterampilan proses sains di dalam kelas. Keterampilan berpikir merupakan aspek penting dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Jika keterampilan berpikir tersebut tidak dilatih terus menerus dalam kegiatan belajar dapat dipastikan kemampuan siswa dalam menyelesaikan berbagai permasalahan akan sangat minimal dan kurang berkualitas. Keterampilan proses sains melatih siswa dalam proses berpikir dan membentuk manusia yang mempunyai sikap ilmiah. Dalam pendidikan sains diperlukan aspek kreativitas. Kreativitas dapat dicapai diantaranya melalui keterampilan berpikir kreatif. Pengembangan keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains pada siswa yang dimulai sejak awal akan membentuk kebiasaan cara berpikir siswa yang sangat bermanfaat bagi siswa itu sendiri di kemudian hari.

Beberapa penyelesaian persoalan dunia pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah dinilai salah langkah, diantaranya: (a) minimnya kebebasan yang diberikan kepada guru sehingga peran guru lebih pas sebagai pegawai pemerintah ketimbang sebagai pendidik yang independen, (b) minimnya keterlibatan guru dalam merumuskan kebijakan pendidikan, dan (c) program peningkatan kualitas pembelajaran cenderung dikaitkan dengan peningkatan kebutuhan biaya pendidikan (Prasetiyo; 2006:43). Rendahnya independensi guru berdampak pada minimnya kreativitas mereka dalam memilih bentuk pengelolaan kelas, metode, strategi maupun perangkat pembelajaran yang diimplementasikan dalam pembelajaran.

Kritik terhadap penyeragaman dan penetapan kebijakan dalam pendidikan harus selalu dikemukakan untuk tujuan peningkatan kualitas pendidikan bangsa. Guru sebagai tenaga pendidik independen harus sadar dengan beratnya peran yang harus diemban, sehingga mereka harus kreatif memilih bentuk pengelolaan kelas yang potensial memberikan kenyamanan belajar siswa. Guru-guru di kelas tradisional lebih cenderung memposisikan dirinya sebagai pegawai pemerintah yang bertugas mentransfer pengetahuan ke siswa. Dampaknya, pengelolaan kelas lebih cenderung menggunakan metode ceramah untuk menyajikan materi serta minimnya pemanfaatan media yang mendukung kemudahan pemahaman siswa. Penyederhanaan bentuk pengelolaan kelas seperti yang lazim dijumpai pada kelas tradisional tidak selalu dipicu oleh rendahnya kreativitas guru, boleh jadi pula dipicu oleh karakteristik materi pelajarannya sendiri. Beberapa materi pelajaran memiliki sifat abstraksi yang menuntut kemampuan imajinasi yang tinggi pada diri siswa untuk memahaminya. Objek konkret materi ajar tidak selalu dapat diamati secara langsung oleh siswa sehingga pembelajaran tidak dapat dikelola memanfaatkan dukungan objek riil yang terdapat di sekitar lingkungan pendidikan. Kalaupun objek itu dapat dibuat tiruannya, kecenderungannya adalah karakteristik riil dari objek tersebut tidak terekam secara utuh. Pertimbangan lainnya adalah: objek yang dipelajari beresiko terhadap keselamatan siswa, atau biaya yang dibutuhkan untuk menyiapkan objek belajar mahal.

Pembelajaran sains di jenjang pendidikan dasar banyak mempelajari objek abstrak yang menuntut kemampuan berpikir anak untuk memahami materi pelajaran. Objek-objek pada pokok bahasan sains banyak yang belum bisa dimengerti sehingga sering terjadi miskonsepsi, hal ini dikarenakan oleh belum tersedianya media yang mampu mengkonkretkan sifat abstraksi materi cenderung mengarahkan guru memilih metode ceramah dalam pengelolaan kelas. Media yang dipilihpun diantaranya: chart atau gambar statik. Pilihan media yang banyak digunakan pada kelas tradisional, belum dapat menggambarkan mekanisme materi sains secara utuh.

Di era teknologi informasi dan komunikasi (TIK), boleh dibilang bahwa hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak terkena dampak dari perkembangan TIK yang sangat pesat, termasuk dunia pendidikan. TIK tidak hanya telah membangkitkan gelombang ekonomi baru tapi juga mengubah pola pikir sampai kepada gaya hidup manusia modern sehingga serasa hidup dalam “kampung dunia” (Witarto; 2003:1). Setidaknya ada 3 (tiga) cara pemanfaatan TIK dalam dunia pendidikan yaitu: sebagai suplemen yang sifatnya pilihan/opsional, sebagai pelengkap (komplemen), atau sebagai pengganti (substitusi) (Siahaan; 2002:5). Dikatakan berfungsi sebagai suplemen (tambahan), apabila peserta didik mempunyai kebebasan memilih, apakah akan memanfaatkan materi pembelajaran elektronik atau tidak. Dalam hal ini, tidak ada kewajiban/keharusan bagi peserta didik untuk mengakses materi pembelajaran elektronik. Sebagai komplemen, materi pembelajaran elektronik diprogramkan untuk menjadi materi pengayaan bagi mereka yang dengan cepat dapat memahami materi (fast learners) atau remedial untuk mereka yang mengalami kesulitan memahami materi (slow learners). Sebagai substitusi, ada 3 alternatif model kegiatan pembelajaran yang dapat dipilih peserta didik, yaitu: (1) sepenuhnya secara tatap muka (konvensional), (2) sebagian secara tatap muka dan sebagian lagi melalui internet, atau bahkan (3) sepenuhnya melalui internet.

Media komunikasi pembelajaran yang memanfaatkan TIK memiliki beberapa kelebihan seperti: bebas konteks, bebas konvensi sosial, bersifat pribadi, dapat meningkatkan motivasi peserta didik, dapat meningkatkan kreativitas dan rasa ingin tahu, mudah didaptasikan dengan individu peserta didik, dapat dilengkapi dengan sistem manajemen lain (Candiasa; 2005:5-9). Meskipun produk TIK memiliki potensi cukup besar dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, media yang dihasilkan juga tidak sepenuhnya dapat menggantikan peran guru. Oleh karena itu pemanfaatan media pembelajaran produk TIK ini perlu dikolaborasikan dengan media pembelajaran lain sehingga penerapan pembelajaran media produk TIK betul-betul memberikan hasil yang positif.

Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan, baik melalui pengembangan mutu tenaga pengajar, penyelenggaraan pendidikan, serta pembangunan berbagai fasilitas penunjang proses pendidikan. Upaya-upaya tersebut ternyata belum menghasilkan perubahan secara nyata (Liliasari : 1997). Oleh karena itu masih perlu upaya dilakukannya pengembangan media pembelajaran dalam berbagai aspek seperti media pembelajaran berbasis komputer yang melatih siswa untuk berpikir kreatif dan keterampilan proses sains. Media pembelajaran yang dikembangkan diharapkan dapat meningkatkan penguasaan konsep, keterampilan berpikir kreatif dan keterampilan proses sains siswa SLTP. Selain itu keberhasilan media pembelajaran yang dikembangkan dapat diharapkan menjadi percontohan medial-media pembelajaran sejenis, untuk topik-topik bahan kajian yang lain dalam bidang studi sains.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada sub latar belakang masalah, rumusan masalah yang akan dikaji melalui penelitian ini meliputi :

a. bagaimanakah spesifikasi kebutuhan media pembelajaran sains pada jenjang penidikan dasar ?

b. bagaimanakah sistematika penyajian media yang dibutuhkan untuk pembelajaran sains memanfaatkan media ICT ?

c. bagaimanakah respon siswa pendidikan dasar terhadap implementasi media pembelajaran berbasis ICT dalam pembelajaran sains?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Berdasarkan permasalahan yang dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

a. memahami spesifikasi kebutuhan media pembelajaran berbasis ICT untuk pembelajaran sains pada jenjang pendidikan dasar.

b. memahami sistematika penyajian modul yang dibutuhkan untuk pembelajaran sains memanfaatkan media berbasis ICT, serta

c. mengetahui respon siswa pendidikan dasar terhadap implementasi pembelajaran berbasis ICT dalam pembelajaran sains.

Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan khususnya untuk pembelajaran di jenjang pendidikan dasar.

a. Bagi Siswa

i. Siswa memperoleh pengalaman memanfaatkan media berbasis ICT dalam pembelajaran sains.

ii. Siswa terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran.

iii. Siswa memiliki peluang memiliki pemahaman secara utuh pada materi sains.

iv. Siswa disadarkan bahwa sumber belajar tidak hanya terletak pada figur guru atau sumber belajar lain yang lazim diimplementasikan dalam pembelajaran.

b. Bagi Guru

i. Tersedianya perangkat pembelajaran berasis ICT yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran sains pada pendidikan dasar.

ii. Dimilikinya pengalaman mengelola kelas yang mengimplementasikan perangkat pembelajaran berbasis ICT .

iii. Memacu kreativitas guru mengembangkan sistem pembelajaran yang lebih inovatif.

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Media Pembelajaran

Media berasal dari bahasa latin merupakan bentuk jamak dari “Medium” yang secara harfiah berarti “Perantara” atau “Pengantar” yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Beberapa ahli memberikan definisi tentang media pembelajaran. Schramm (1977) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Sementara itu, Briggs (1977) berpendapat bahwa media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Sedangkan, National Education Associaton (1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Dari ketiga pendapat di atas disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menyalurkan pesan, dapat merangsang fikiran, perasaan, dan kemauan peserta didik sehingga dapat mendorong terciptanya proses belajar pada diri peserta didik.

Brown (1973) mengungkapkan bahwa media pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran dapat mempengaruhi terhadap efektivitas pembelajaran. Pada mulanya, media pembelajaran hanya berfungsi sebagai alat bantu guru untuk mengajar yang digunakan adalah alat bantu visual. Sekitar pertengahan abad Ke –20 usaha pemanfaatan visual dilengkapi dengan digunakannya alat audio, sehingga lahirlah alat bantu audio-visual. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), khususnya dalam bidang pendidikan, saat ini penggunaan alat bantu atau media pembelajaran menjadi semakin luas dan interaktif, seperti adanya komputer dan internet.

Media memiliki beberapa fungsi, diantaranya :

  1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak mungkin dibawa ke obyek langsung yang dipelajari, maka obyeknyalah yang dibawa ke peserta didik. Obyek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur, model, maupun bentuk gambar – gambar yang dapat disajikan secara audio visual dan audial.
  2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu obyek, yang disebabkan, karena : (a) obyek terlalu besar; (b) obyek terlalu kecil; (c) obyek yang bergerak terlalu lambat; (d) obyek yang bergerak terlalu cepat; (e) obyek yang terlalu kompleks; (f) obyek yang bunyinya terlalu halus; (f) obyek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan media yang tepat, maka semua obyek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
  3. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
  4. Media menghasilkan keseragaman pengamatan
  5. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit, dan realistis.
  6. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.
  7. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
  8. Media memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang konkrit sampai dengan abstrak

Terdapat berbagai jenis media belajar, diantaranya :

  1. Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik
  2. Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya
  3. Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya
  4. Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya.

Sejalan dengan perkembangan IPTEK penggunaan media, baik yang bersifat visual, audial, projected still media maupun projected motion media bisa dilakukan secara bersama dan serempak melalui satu alat saja yang disebut Multi Media. Contoh : dewasa ini penggunaan komputer tidak hanya bersifat projected motion media, namun dapat meramu semua jenis media yang bersifat interaktif.

Allen mengemukakan tentang hubungan antara media dengan tujuan pembelajaran, sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini :

Jenis Media

1

2

3

4

5

6

Gambar Diam

S

T

S

S

R

R

Gambar Hidup

S

T

T

T

S

S

Televisi

S

S

T

S

R

S

Obyek Tiga Dimensi

R

T

R

R

R

R

Rekaman Audio

S

R

R

S

R

S

Programmed Instruction

S

S

S

T

R

S

Demonstrasi

R

S

R

T

S

S

Buku teks tercetak

S

R

S

S

R

S

Keterangan :

R = Rendah S = Sedang T= Tinggi

1 = Belajar Informasi faktual

2 = Belajar pengenalan visual

3 = Belajar prinsip, konsep dan aturan

4 = Prosedur belajar

5= Penyampaian keterampilan persepsi motorik

6 = Mengembangkan sikap, opini dan motivasi

Kriteria yang paling utama dalam pemilihan media bahwa media harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai. Contoh : bila tujuan atau kompetensi peserta didik bersifat menghafalkan kata-kata tentunya media audio yang tepat untuk digunakan. Jika tujuan atau kompetensi yang dicapai bersifat memahami isi bacaan maka media cetak yang lebih tepat digunakan. Kalau tujuan pembelajaran bersifat motorik (gerak dan aktivitas), maka media film dan video bisa digunakan. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya yang bersifat melengkapi (komplementer), seperti: biaya, ketepatgunaan; keadaan peserta didik; ketersediaan; dan mutu teknis.

2.2 Rekayasa Pengetahuan

Pengertian data, informasi, dan pengetahuan yang sering dikaburkan pada kehidupan sehari-hari sesungguhnya secara semantik adalah berbeda. Data merupakan fakta dasar yang biasanya diperoleh melalui observasi atau merupakan hasil pengukuran. Informasi merupakan data yang sudah dimanipulasi sehingga menjadi bermakna dalam konteks tertentu. Transformasi ini dibangun melalui pengorganisasian, agregasi, penyaringan atau beberapa manipulasi lain yang menghasilkan interpretasi akurat dari data tesebut. Sedangkan pengetahuan merupakan pengorganisasian kumpulan fakta, aturan, atau heuristik seperti bagaimana dan kapan menerapkannya untuk memecahkan masalah. Lopez & Donlon (2001:45) juga mendefiniskan pengetahuan sebagai proses menggabungkan informasi dari beragam domain dan mengorganisasikannya untuk menyelesaikan suatu masalah. Pengetahuan dapat dipanggil kembali untuk diaplikasikan pada persoalan yang sama atau sebagai komponen dalam menyelesaikan persoalan lain atau persoalan yang lebih kompleks.

Michaelson & Boulanger (1985:303-312) menyatakan; manusia dapat memperoleh pengetahuan dari beragam cara :

a. melihat orang lain menyelesaikan sebuah persoalan,

b. melalui transfer analogi antar dua domain yang tidak berelasi,

c. merasionalisasi secara mendalam suatu struktur seperti buku dan pendidikan formal,

d. melakukan observasi,

e. melakukan eksperimen, dan

f. melakukan penemuan.

Cara perolehan pengetahuan ini sangat mungkin dikombinasikan antara cara satu dengan cara lainnya.

Barr dan Feigenbaum (1981) menyatakan bahwa rekayasa pengetahuan ini merupakan salah satu bidang dari kecerdasan buatan (Artificial Intelligence = AI) yang memiliki konsentrasi pada penerapan pengetahuan untuk menyelesaikan persoalan yang pada dasarnya membutuhkan kepakaran. Orang yang memiliki pengetahuan ini dikenal dengan sebutan knowledge engineers. Knowledge engineers memiliki tiga tugas utama, yakni : (1) mengidentifikasi domain permasalahan, (2) memilih metode untuk mengakuisisi pengetahuan, dan (3) mengonstruksi sistem pengetahuan. Dengan kata lain; Knowledge engineers memiliki tugas membangun agen pengetahuan. Agen pengetahuan ini dapat disusun melalui beragam cara, dan salah satunya adalah melalui pengelolaan pengalaman belajar dari tahun ke tahun dan mungkin juga sebagai hasil bagi pakai (sharing) dengan beberapa pakar.

2.3 Pengelolaan Keragaman Karakteristik Individu Pebelajar

Pribam (dalam Candiasa, 2005:43) yang mendasarkan pada premis “otak ibarat suatu pencatat berbagai informasi optis yang dapat ditemukan melalui berbagai titik terang di layar permukaan hologram” berpendapat bahwa layanan belajar hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan individu pebelajar. Candiasa dalam orasi pengenalan jabatan guru besar menyatakan; psikologi dengan berbagai cabangnya telah mengidentifikasi banyak variabel yang mengindikasikan perbedaan individu dan mempengaruhi proses belajar mereka, seperti kecerdasan, bakat, gaya kognitif, gaya berpikir, daya adopsi, ketahanmalangan, dan kemampuan awal. Collin & Porras (dalam candiasa, 2005) menyatakan bahwa manajemen perubahan menuntut setiap individu harus berpikir, merasakan dan mengerjakan sesuatu yang berbeda agar terjadi perubahan dalam organisasi. Dengan kata lain, dalam belajar dituntut terjadi individualisasi agar diperoleh hasil belajar yang optimal.

Permasalahan yang timbul adalah bagaimana mengakomodasi perbedaan karakteristik individu dalam pembelajaran. Pemenuhan karakteristik individu dalam pembelajaran potensial menunjang pencapaian hasil belajar yang optimal. Dunn, Beaudry dan Klavas dalam Tucker menyatakan “if learning preferences were supported through altering educational condition to meet learning style preferences, statistically significant improvements in behaviors, grades, and altitude will be observed” (Tucker, 2003). Pemeliharaan karakteristik individu dalam pembelajaran tidak juga berarti mengarahkan pembelajaran ke arah kompetisi tetapi lebih diarahkan pada kolaborasi, terlebih-lebih kolaborasi dengan pakar. Di era teknologi informasi dan komunikasi, kolaborasi dengan pakar sangat potensial dapat dilakukan baik secara sinkronus maupun asinkronus. Jadi masing-masing individu pebelajar potensial akan menempuh mekanisme belajar yang beragam sesuai dengan pengetahuan atau keterampilan yang sudah dimiliki.

Candiasa (2006:7) menjelaskan ada beberapa pendekatan yang dapat diterapkan dalam pembelajaran adaptif untuk mengakomodir perbedaan karakteristik pebelajar, yang antara lain : (1) pendekatan intensif, (2) pendekatan konteks, (3) pendekatan kepadatan, dan (4) pendekatan urutan. Untuk pendekatan urutan, yang dapat dijadikan alternatif adalah urutan algoritmik atau urutan heuristik. Urutan algoritmik menyajikan materi dengan urutan logis dan sistematis tahap demi tahap mengikuti jaringan materi. Di sisi lain, urutan heuristik tidak sistematis melainkan dapat meloncat-loncat menurut kemampuan dan pengalaman pebelajar. Urutan heuristik dapat berbalik; dimulai dari akhir materi dan berakhir di awal materi. Contoh dan latihan umumnya diberikan secara analogi. Urutan heuristik yang suka meloncat-loncat dan tidak sistematis lebih cocok untuk pebelajar yang suka menyususn materi sendiri atau berpikir abstrak dan holistik (Candiasa, 2006:10). Oleh karena itu urutan heuristik lebih menarik bagi individu dengan gaya kognitif field independent atau individu dengan gaya berpikir divergen.

2.4 Teknologi Informasi Dalam Pembelajaran

2.4.1 Terminologi

Komputer, sebagai pendukung teknologi informasi sudah banyak dimanfaatkan dalam pembelajaran, sehingga dikenal dengan istilah pembelajaran bermedia komputer atau sering disebut pembelajaran berbasis teknologi komputer. Pembelajaran bermedia komputer adalah cara untuk memproduksi atau menyajikan materi pembelajaran dengan menggunakan sumberdaya dengan basis mikroprosesor. Tugas para ahli teknologi pendidikan dalam hal ini adalah mendesain pembelajaran agar dapat disajikan dengan menggunakan komputer. Kegiatan utama siswa sebagai pemakai dalam pembelajaran yang memanfaatkan teknologi dengan basis komputer adalah mengakses informasi dari sumber informasi, yaitu komputer.

Proses pembelajaran sebenarnya didominasi oleh kegiatan manajemen informasi. Ada tiga komponen utama dalam informasi, yaitu pemakai, akses dan informasi. Dalam proses pembelajaran sebagai pemakai adalah siswa, sebagai informasi adalah materi pembelajaran yang berasal dari buku, basis data komputer, basis pengetahuan atau sumber informasi lainnya. Sedangkan akses adalah transfer informasi dari sumber informasi kepada siswa. Pada teknologi dengan basis komputer dikaji bagaimana mendesain pembelajaran dengan memanfaatkan sumberdaya komputer, termasuk di dalamnya pengaturan pemakai, pengaturan informasi pembelajaran dan pengaturan akses. Manajemen informasi dan teknologi dengan basis komputer juga melibatkan manajemen sumberdaya.

Memperhatikan uraian di atas ditambah dengan pengamatan terhadap perkembangan teknologi, tentunya tidak berlebihan ungkapan yang menyatakan bahwa “perpaduan antara sistem informasi dengan manajemen akan berkembang dan mempengaruhi Teknologi Pembelajaran, dimana manajemen pengambilan keputusan akan makin tergantung kepada komputerisasi informasi.

Dalam komputerisasi sumber pembelajaran, penekanan lebih diberikan pada keunggulan design perangkat lunak (software) daripada kecanggihan-kecanggihan perangkat keras (hardware). Pengaturan penampilan informasi, keramahan antar muka (interface), dan kemudahan dalam mengakses informasi yang dirasakan oleh pemakai (user) lebih menentukan keberhasilan proses pembelajaran daripada kecanggihan perangkat keras yang dipilih. Bukan berarti bahwa perangkat keras yang canggih tidak perlu, melainkan harus disesuaikan dengan alokasi biaya, yang penting perangkat keras yang digunakan kompatibel dengan sistem perangkat lunak yang dikembangkan.

Taksonomi penggunaan komputer dalam bidang pendidikan yang paling banyak digunakan adalah yang diusulkan oleh Taylor (1980), yang mengklasifikasikan penggunaan komputer dalam bidang pendidikan menjadi tiga kelompok yaitu: (1) komputer sebagai tutor, (2) komputer sebagai tool, dan (3) komputer sebagai tutee. Komputer sebagai tutor dimaksudkan untuk menjelaskan peran komputer sebagai alat untuk menyajikan materi pembelajaran yang diprogram secara elektronik. Komputer sebagai tool menjelaskan fungsi komputer yang amat luas sebagai alat bantu atau dalam terminologi McLuhan disebut perpanjangan tangan manusia, agar pekerjaan menjadi lebih cepat dan lebih efisien, misalnya administrasi biaya pendidikan, administrasi nilai, administrasi perpustakaan, dan administrasi lainnya. Komputer sebagai tutee berarti komputer sebagai objek untuk dikontrol melalui pemrograman, agar mampu memecahkan masalah.

Teknologi dengan basis komputer adalah cara untuk memproduksi atau menyajikan materi dengan menggunakan sumber berbasis mikroprosesor. Apabila diperhatikan klasifikasi penggunaan komputer dalam pendidikan dari Taylor, maka teknologi dengan basis komputer termasuk dalam klasifikasi komputer sebagai tutor. Akan tetapi perkembangan aplikasi komputer dalam pendidikan menunjukkan bahwa teknologi dengan basis komputer sudah menambahkan tool ke dalam paket aplikasinya. Sehingga perbedaan menggunakan komputer dalam pendidikan sebagai tutor dan penggunaan komputer dalam pendidikan sebagai tool menjadi semakin kabur.

2.4.2 Karakteristik Komputer sebagai Media Pembelajaran

Ada beberapa karakteristik dari teknologi berbasis komputer, baik perangkat keras maupun perangkat lunak, yang membuat teknologi tersebut dipilih untuk memproduksi dan menyajikan materi pembelajaran. Karakteristik dimaksud adalah sebagai berikut:

(1) Ide abstrak bisa disajikan dalam model dengan menggunakan kata-kata, simbol, grafik dan animasi sehingga lebih mudah dipahami siswa.

(2) Perpaduan animasi teks dan gambar dengan berbagai animasi tampilan juga dapat menarik minat siswa. Bahkan penggunaan multimedia dan hypermedia yang mampu memadukan teks, grafik dan suara akan lebih menarik perhatian siswa.

(3) Dapat mengakomodasi perbedaan siswa secara individu, menurut kemampuan, latar belakang kehidupan, pengalaman atau hobi. Suatu hal yang amat sulit untuk dikerjakan oleh seorang guru sendiri di kelas.

(4) Dapat digunakan secara random sehingga lebih mendukung pelaksanaan control learner.

(5) Pembelajaran bisa dibuat berorientasi pada siswa dengan teknik interaktif tingkat tinggi. Dialog bisa dibuat lebih lengkap dengan memanfaatkan basis data informasi atau bahkan basis pengetahuan.

(6) Faktor-faktor personal guru, seperti sikap, emosi atau persepsi yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran dieleminir secara maksimal. Komputer tidak pernah marah atau kesal, sehingga penampilannya konstan dan memandang siswa sama. Faktor subyektifitas juga bisa dihilangkan secara maksimal karena komputer tidak punya perasaan untuk mengenali siswa cantik, nakal, kaya dan sebagainya. Melainkan hanya bertindak sesuai dengan logika program.

(7) Konvensi sosial yang dapat menghambat perkembangan siswa dapat diminimalkan karena komunikasi antar siswa atau siswa dengan guru difasilitasi oleh komputer. Komunikasi bermedia komputer relatif dapat mengeleminir perbedaan ruang dan waktu.

Dibalik karakteristik yang menguntungkan, pembelajaran berbantuan komputer masih memiliki keterbatasan dibandingkan dengan pembelajaran yang dimiliki guru. Keterbatasan yang dimaksud, adalah:

(1) Komputer tidak mampu mengenali situasi siswa, apakah siswa sudah lelah, merasa kesal atau menemui kesulitan. Apabila ini dibiarkan akan menimbulkan frustasi.

(2) Di tingkat awal, selain sebagai pengajar, guru juga bertindak sebagai pendidik dengan melakukan komunikasi interpersonal dengan siswa. Kemampuan mendidik ini tidak dimiliki komputer, karena komputer tidak mampu melakukan komunikasi interpersonal dengan siswa.

2.4.3 Paket Program Pembelajaran Berbantuan Komputer

Proses penyusunan paket PBK setidaknya melibatkan tiga bidang keahlian, yaitu materi pembelajaran, desain pembelajaran (teknologi Pendidikan), dan pemrograman komputer. Paket PBK pada mulanya disusun menjadi paket program utuh, dimana materi pembelajaran dan instruksi pembelajaran diintegrasikan dalam satu file program. Bentuk PBK seperti ini dinilai kurang baik karena sangat kaku. Dialog antara sistem dengan siswa terbatas. Apabila materi sudah dikuasai siswa atau materi pembelajaran ingin disesuaikan dengan keadaan siswa maka penggantian materi pembelajaran amat sulit, dan harus dikerjakan oleh programer.

Sejalan dengan perkembangan teknologi komputer, khususnya teknik basis data, muncul ide untuk memanfaatkan basis data informasi dalam PBK. Pada desain jenis ini paket PBK menjadi lebih fleksibel karena materi dan instruksi pembelajaran disimpan secara terpisah. Dialog antara sistem dan siswa bisa dibuat lebih kaya dengan mengatur basis data. Penggantian materi pembelajaran juga menjadi lebih mudah karena hanya mengganti file basis data, sehingga tidak mesti dikerjakan oleh pemrogram. Rupanya inovasi di bidang PBK berkembang dengan cepat menyertai perkembangan teknologi komputer. Perkembangan konsep intelegensi buatan pada beberapa bidang telah memberi ilham para ahli teknologi pendidikan untuk mengadopsi konsep tersebut untuk mengembangkan paket PBK.

Proses penyusunan paket PBK umumnya melalui tiga fase, yaitu fase analisis, fase pengembangan dan fase evaluasi. Fase analisis adalah penyiapan desain pembelajaran, meliputi analisis pembelajaran, perumusan tujuan pembelajaran, penyusunan alat evaluasi dan pemilihan strategi pembelajaran yang tepat. Desain pembelajaran yang telah disusun kemudian diprogram menjadi prototip program dalam fase pengembangan. Protipe program kemudian dievaluasi dalam fase evaluasi untuk mengetahui apakah prototip program sudah memenuhi kriteria pembelajaran yang diinginkan. Apabila kriteria sudah terpenuhi maka prototip dikembangkan menjadi paket PBK, sedangkan apabila kriteria belum tercapai maka dilakukan revisi. Bila terjadi kesalahan semantik (logika), maka revisi dilakukan mulai dari fase analisis. Sedangkan bila terjadi kesalahan sintaks (kode), maka revisi hanya dilakukan pada fase pengembangan. Hasil revisi kemudian dievaluasi lagi, dan begitu seterusnya sampai menjadi PBK yang siap dipakai.

Bentuk pembelajaran yang bisa dikembangkan adalah model tutorial,drill, permainan dan simulasi. Tutorial merupakan bentuk pembelajaran yang paling lengkap, yang umumnya digunakan untuk mengajar materi baru. Kegiatan yang mesti tercakup dalam tutorial antara lain memotivasi siswa, mengenali materi prasyarat, menyampaikan tujuan, penyajian materi disertai tanya jawab dan remidi dan diakhiri dengan latihan. Sementara itu drill hanya meliputi kegiatan bertanya dan memberikan umpan balik, yang digunakan untuk meningkatkan retensi dan transfer. Simulasi berarti merepresentasikan keadaan nyata. Berdasarkan simulasi itu siswa diminta menyusun hipotesis tentang hubungan antara fakta dari kejadian yang diamati.

Interaksi pembelajaran dalam PBK terjadi antara sistem dengan siswa. Siswa memberikan respon dan sebaliknya sistem memberikan umpan balik. Fokus pengkajian dalam hal ini antara lain bisa diarahkan ke penyempurnaan umpan balik sehingga dialog antara sistem dengan siswa lebih bermakna. Apakah umpan balik langsung disertai reinforcement, atau reinforcement diberikan setelah umpan balik tertentu merupakan kajian utama bidang ini. Beberapa penelitian tentang umpan balik yang sudah dilakukan antara lain umpan balik berupa komentar pendorong dan umpan balik korektif.

Ciri utama dari PBK adalah menerapkan pendekatan pembelajaran individual. Fleksibelitas sistem pengaksesan informasi bisa dimanfaatkan untuk mengadaptasi pembelajaran agar bisa mengakomodasikan perbedaan siswa secara individual. Adaptasi bisa dilakukan menurut struktur materi, kemampuan siswa maupun karakteristik individu lainnya, seperti latar belakang keluarga, minat atau hobby. Adaptasi terhadap kemampuan siswa dimaksudkan agar PBK mampu menyajikan materi sesuai dengan tingkat kemampuan siswa yang dideteksi sebelumnya. Pada sisi lain, adaptasi terhadap latar belakang keluarga, minat atau hobby dimaksudkan agar PBK mampu menyajikan materi pembelajaran dalam konteks yang sesuai dengan latar belakang keluarga, minat atau hobby yang dideteksi sebelumnya. Pendekatan ini diharapkan mampu lebih memotivasi siswa untuk belajar karena apa yang dipelajari dirasakan sesuai dengan kebutuhan, kemampuannya dan pengalamannya.

Komponen motivasi sangat penting dalam penyusunan PBK. Pengkajian di sini bisa difokuskan pada penyususnan PBK yang mampu membangkitkan dan memelihara motivasi siswa. Komponen motivasi yang umum digunakan dalam PBK adalah yang direkomendasikan oleh Keller yang disebut komponen ARCS. Menurut Keller ada empat komponen motivator dalam pembelajaran, yang disingkat ARCS, yaitu A(Attention), R(Relevance), C(Confidence) S(Satisfication). Attention dimaksud, siswa akan termotivasi untuk belajar jika materi pembelajaran sesuai dengan kepentingannya. Confidence berarti siswa akan termotivasi belajar jika merasa mampu untuk menguasai materi yang diajarkan. Satisfication berarti siswa akan termotivasi untuk belajar jika proses pembelajaran mampu memuaskan siswa. Komponen motivasi terkait erat dengan adaptasi materi terhadap individu siswa.

2.5 Dukungan ICT Untuk Peningkatan Kompetensi Belajar

Di era global dewasa ini peningkatan kualitas pendidikan tidak cukup melalui peningkatan kuantitas dan kualitas prasarana dan sarana saja. Tidak cukup pula melalui peningkatan nilai rupiah yang mesti dikeluarkan untuk pembiayaan pendidikan. Hal yang lebih penting lagi adalah tersedianya kemudahan akses ke pusat-pusat informasi yang dikemas dalam bentuk jaringan informasi global. Hal ini senada dengan pendapat Yuhetty (2002) bahwa “to improve the quality of human resources, the government had used ICT to expand the educational opportunity, to improve the quality and relevance of education, and to increase the efficiency of the educational system

Pemanfaatan ICT dalam dunia pendidikan potensial untuk :

a. Memperluas jangkauan pendidikan

Paradigma pendidikan tradisional secara logika tidak memungkinkan semua anak usia didik dapat mengenyam pendidikan baik karena alasan ekonomi, waktu, maupun prasarna dan sarana. Semboyan education for all pesimis dapat direalisasikan. Pada masyarakat golongan ekonomi lemah, sering dijumpai anggota keluarga yang berada pada usia didik dilibatkan untuk menopang perekonomian.

Perluasan akses juga dipahami sebagai usaha melibatkan semaksimal mungkin anak usia didik yang secara tradisional terlepas dari sentuhan dunia pendidikan karena alasan budaya dan sosial. Di masyarakat dengan aturan budaya yang masih kuat mengatur interaksi antar gender, pergaulan anak-anak perempuan yang menginjak usia akil balik dibatasi. Dengan siapa mereka boleh atau tidak boleh berkomunikasi diatur secara ketat. Anak perempuan yang mengalami permasalahan akademis cenderung dibiarkan gagal dibandingkan dengan mengupayakan solusinya melalui guru pria.

Letak geografis juga merupakan faktor penghambat perealisasian education for all. Anak usia didik yang tinggal pada pemukiman dengan penduduk jarang-jarang sering tidak terjangkau oleh dunia pendidikan. Malas pergi ke tempat belajar karena alasan jarak dapat terjadi pada komponen guru maupun siswa. Pada sistem pendidikan tradisional, realitas ini juga menjadi penghambat perealisasian education for all.

Penggunaan ICT secara teoritis mampu membantu penyediaan altenatif media bagi upaya percepatan perealisasaian education for all. Teknologi yang diimplementasikan pun tidak mesti dari teknologi yang paling mahal dalam bentuk internet, bahkan dapat memanfaatkan teknologi televisi atau radio. Melalui penggunaan teknologi ini, anak usia didik yang mungkin dirangkul dalam pembelajaran dapat ditingkatkan kuantitasnya. Anak-anak dari keluarga ekenomi lemah tetap dapat melibatkan anaknya untuk menopang perekonomian dan memanfaatkan waktu belajar sesuai dengan waktu lowong yang dimilikinya. Demikian pula anak yang tinggal di pemukiman penduduk jarang-jarang atau dengan budaya yang kental tetap dapat belajar berbantuan teknologi tanpa terbatas jarak atau melanggar budaya. Sifat teknologi sebagai mediator netral dapat memfasilitasi komunikasi anak usia didik dengan tetap menunjukkan ketaatan pada budaya dan batasan gender.

b. Meningkatkan efisiensi

Wadi dan Sonia (2006) mendefinisikan pengukuran efisiensi internal sistem pendidikan berdasarkan pada kemampuan menghasilkan pendidikan yang berkualitas melalui penggunaan anggaran yang seefektif mungkin. Ini berarti bahwa untuk dapat dikategorikan efisien, sebuah pendidikan tidak cukup hanya mampu menyajikan pengetahuan kepada anak didik. Yang lebih penting adalah pendidikan mesti berkualitas.

Sistem pendidikan tradisional sesungguhnya tidak hanya bermasalah pada populasi anak didik yang bermukim di wilayah-wilayah dengan kondisi disebutkan di atas. Pada wilayah pusat-pusat pendidikan pun sistem pendidikan tradisional potensial memunculkan masalah. Secara fisik penambahan kelas menuntut penambahan ruang belajar dan tenaga guru. Pengelolan kelas pada sistem pendidikan tradisional juga belum mampu mengakomodir perbedaan karakteristik individu belajar sehingga kenyamanan pembelajaran cenderung belum terwujud secara optimal. Demikian pula halnya dengan kurikulum yang cenderung terpusat pada guru, tidak pada individu belajar.

Kapasitas ICT menjangkau peserta didik di mana pun berada dan kapan pun juga potensial mendorong perubahan revolusioner terhadap paradigma pendidikan tradisional. Pemanfaatan ICT menghapuskan premis “waktu belajar sama dengan jadwal kelas”. Tidak ada lagi istilah terlambat untuk jadwal pelajaran yang dimulai pukul 07.30 Wita. Siswa dapat menggunakan separuh waktu belajarnya di sekolah dan separuhnya lagi digunakan untuk belajar di rumah, perpustakaan, tempat kerja, atau tempat-tempat lainnya yang dikehendaki. Cara belajarnya pun dapat diatur sesuai dengan kebutuhan pebelajar. Penambahan kelas juga tidak mutlak menuntut penambahan ruang kelas atau tenaga guru karena sumber daya yang tersedia dapat dibagi pakai bersama. Bahkan dengan mengupayakan pemanfaatan sumber daya guru yang profesional, potensial meningkatkan kualitas pembelajaran secara menyeluruh. Di samping itu potensi ICT merangkum anak didik dengan kemampuan beragam juga potensial merancang kurikulum yang berpusat pada siswa. Siswa dapat belajar sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya tanpa mengganggu siswa lainnya.

c. Meningkatkan kualitas pembelajaran

Meskipun definisi tentang kualitas pembelajaran belum pas, namun untuk mengatakan bahwa suatu pembelajaran berkualitas dapat digunakan indikator : (a) siswa mesti termotivasi untuk belajar, (b) konsep dasar mesti dipahami, (c) pengetahuan yang diperoleh mesti mampu dikembangkan melalui tugas-tugas yang lebih kompleks atau menuntut keterampilan berpikir tingkat tinggi. Melalui penggunaan ICT, diversifikasi teknik penyajian yang melibatkan gambar, suara, pergerakan serta pengalamatan beragam kebutuhan jenis belajar memungkinkan ICT memiliki potensi meningkatkan kualitas pembelajaran. Kualitas belajar mencakup peningkatan motivasi, perolehan keterampilan dasar, peningkatan inkuiri, eksplorasi, serta menyiapkan individu-individu melek teknologi. Pembelajaran yang efektif menyulut kuriositas intelektual dan memberikan perasaan senang yang nantinya akan memicu siswa dari sikap pasif hanya menerima informasi menjadi aktif sebagai pembangun pengetahuan. ICT merupakan alat bantu yang efektif membantu siswa dalam proses pembelajaran.

Pemanfaatan komputer sebagai salah satu produk teknologi dikenal dengan CAI (computer-aided instruction). Kelebihan alat bantu komputer dalam pembelajaran terbayangkan dari pilosofi pemanfaatan komputer dalam pendidikan yakni memelihara individuasi karakteristik belajar. Progam CAI dikemas dalam bentuk modul yang tetap mempertahankan jaringan konsep dan keterampilan. Siswa diijinkan melangkah ke materi yang lebih kompleks apabila sudah mampu mencapai persentase target minimal dari materi yang dituangkan di sebuah modul. Individu yang belum mencapai target dapat mengulang kembali materi yang sama atau memasuki unit remidial sampai keterampilan atau konsep tertuntaskan. Program CAI juga mampu merekam unjuk kerja siswa, sehingga guru potensial mengetahui kelemahan dan kekuatan dari individu siswanya. Dengan demikian, pemanfaatan ICT potensial memfasilitasi perolehan keterampilan dasar siswa melalui kondisi internal pembelajaran yang menyenangkan serta memfokuskan aktivitasnya pada keterampilan analitik yang menuntut keterampilan berpikir lebih tinggi daripada mengerjakan tugas-tugas rutin seperti kalkulasi.

Belajar adalah lebih dari sekedar transfer pengetahuan. Belajar membutuhan kemampuan menganalisa dan mensintesa yang dapat diperoleh melalui strategi inkuiri atau eksplorasi. Sagan (dalam Wadi dan Sonia,2006) menuliskan bahwa semua anak awalnya merupakan ilmuwan, penuh kepedulian dan pertanyaan tentang dunia, adalah sekolah pada akhirnya “menghancurkan” kepedulian mereka. Sekolah pasti tidak mengijinkan siswanya berimprovisasi dengan bahan-bahan berbahaya di laboratorium apalagi dari jenis bahan yang harganya mahal. Demikian pula halnya, siswa pasti tidak dijinkan memanipulasi objek-objek langka untuk tujuan pembelajaran. Melalui pemanfaatan ICT, kepedulian dan rasa ingin tahu siswa tetap dapat difasilatsi perolehan jawabannya melalui ekplorasi di dunia maya, laboratorium maya, atau objek maya. Simulasi program merupakan contoh tepat kekuatan teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Simulasi komputer mengubah eksperimen berbahaya dan mahal menjadi prosedur yang aman dan murah.

Globalisasi, kreativitas dan kolaborasi merupakan kunci kesuksesan. Di sistem pendidikan tradisional, anak-anak belajar dalam batasan ruang dan mengerjakan tugas-tugas yag mengarah pada keseragaman dan kompetisi yang dipacu. Belajar dalam lingkungan seperti ini potensial melahirkan luaran yang minim pengalaman untuk berbagai ide, tugas-tugas, atau menerima perbedaan pendapat. ICT potensial mengeleminasi hambatan ruang dan waktu sehingga sekolah dapat berkomunikasi dengan dunia luar serta menciptakan lingkungan untuk berkolaborasi, bukan berkompetisi.

d. Memperkaya kualitas pengajaran

Aktivitas belajar hanya merupakan satu bagian dari proses pendidikan serta kualitas pembelajaran tidak mungkin dicapai tanpa didukung oleh pengajaran yang baik pula. Ini berarti dibutuhkan guru yang berkualitas yang tidak dapat dipecahkan dengan pengangkatan guru baru saja. Guru-guru dituntut selalu melek dengan perspektif baru teori-teori pembelajaran dan bidang spesialisasinya. Ini merupakan tugas yang kecil peluangnya terwujud bagi guru-guru yang jauh dari pusat informasi atau berada di daerah terisolasi. Proses mentoring yang secara tradisional digunakan menyiapkan kader baru merupakan beban ekstra bagi guru-guru senior. ICT juga potensial dimanfaatkan sebagai alat bantu melatih dan mendorong guru-guru selalu memutahirkan pengetahuan dan pengalamannya. Materi mentoring dapat dikemas dalam bentuk skrip dipadukan dengan program pembelajaran melalui radio atau televisi. Penggunaan teknologi untuk melatih tenaga guru setidaknya memberikan tiga keuntungan: (a) mengurangi biaya perjalanan, (b) menghindari rutinitas kelas, dan (c) mengenalkan guru-guru dengan teknologi.

Internet menyediakan banyak website yang dapat membantu guru mengembangkan rencana pembelajarannya, bertukar pikiran, mendapat informasi baru, serta mendapatkan animasi dan simulasi gratisan untuk meningkatkan kualitas pengajarannya. Cukup banyak projek-projek pembelajaran berbasis internet yang menyertakan materi pelatihan, proceeding yang diterbitkan secara reguler. Ruang chatting atau forum merupakan laboratorium maya untuk menemukan ide-ide baru. Meskipun demikian hendaknya tidak dipahami bahwa pemanfaatan teknologi akan menggantikan peran guru di dunia pendidikan, sebaliknya teknologi mengembangkan berbagai sumber yang menjadikan guru tidak merasa sendiri.

Pemanfaatan ICT di dunia pendidikan khususnya untuk di jenjang pendidikan dasar, banyak diimplementasikan dalam bentuk e-learning, online course, online tutorial, elektronic library, dan CAI .

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (developmental reseach) untuk menghasilkan perangkat pembelajaran kolaboratif antara media pembelajaran berbasis ICT dan modul pembelajaran sains pada jenjang pendidikan dasar.

3.2 Waktu Dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama enam (6) bulan, dimulai dari bulan September 2008 sampai dengan Maret 2009. Penelitian dilakukan di dua lokasi penelitian: (a) laboratorium komputer jurusan informatika dan (b) SMP Negeri 1 Singaraja. Perancangan dan implementasi media pembelajaran berbasis ICT serta penyusunan modul dilakukan di laboratorium komputer jurusan Informatika. Sedangkan evaluasi konten, unjuk kerja program, dan respon siswa terhadap implementasi pembelajaran dengan media pembelajaran berbasis ICT dilakukan di kelas SMP Negeri 1 Singaraja.

3.3 Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah media pembelajaran sains jenjang pendidikan dasar atas khususnya untuk materi sains kelas IX. Lebih spesifik lagi adalah media pembelajaran yang dipilih sebagai media pembelajaran di kelas. Obyek penelitian yang lain adalah respon siswa SMP terhadap media pembelajaran yang dihasilkan dalam penelitian.

3.4 Prosedur Penelitian

Produk dari penelitian pengembangan ini meliputi situs pembelajaran sains berbasis ICT untuk jenjang SMP, modul, dan petunjuk teknis (technical guide) pemanfaatan media dalam pembelajaran. Dengan demikian terdapat tiga pekerjaan utama sebagai lingkup kegiatan penelitian ini yakni pengembangan web site, penyusunan modul, dan penyusunan petunjuk teknis penggunaan media.

Pengembangan web site mengikuti paradigma prototiping yang meliputi enam tahapan: (a) pengumpulan kebutuhan dan perbaikan, (b) desain cepat, (c) membangun prototipe, (d) evaluasi prototipe oleh pengguna, (e) perbaikan prototipe dan (f) rekayasa produk seperti digambarkan pada gambar 1.

Gambar 1 Paradigma Prototiping

- Pengumpulan Kebutuhan dan Perbaikan

Pada tahap ini dilakukan pengumbulan kebutuhan perangkat lunak yang akan dibangun yang meliputi pendataan kebutuhan, data mana yang sudah tersedia, serta data mana yang perlu dikaji lebih jauh. Implementasi kegiatan pada tahap ini meliputi studi literatur, diskusi dan observasi.

- Desain Cepat

Hasil pada tahap pengumpulan kebutuhan kemudian dimanfaatkan sebagai data awal untuk mendesain spesifikasi global dari produk yang hendak dihasilkan. Tahap ini lebih terfokus pada aspek-aspek produk yang akan dimunculkan pada bagian tampilan.

- Membangun prototipe

Desain awal yang sudah dihasilkan selanjutnya diimplementasikan untuk mendapatkan simulasi dari hasil akhir yang diinginkan. Pekerjaan pada tahap ini belum menyentuh aspek detail dari produk yang dibangun dan lebih difokuskan untuk mempermudah pemahaman terhadap proses.

- Evaluasi prototipe

Sesuai dengan tujuan pada pembangunan prototipe, dengan lebih dipahaminya gambaran awal dari produk yang akan dihasilkan maka pada tahap ini kita dapat melakukan evaluasi terhadap prototipe yang dihasilkan sehingga dapat dihasilkan produk yang lebih bagus.

- Perbaikan prototipe

Kekurangan-kekurangan yang didata dari hasil evaluasi terhadap desain cepat selanjutnya digunakan sebagai masukan untuk melakukan revisi pada desain cepat. Siklus yang meliputi desain cepat, membangun prototipe, evaluasi prototipe oleh pengguna, dan perbaikan prototipe kemungkinan berulang lebih dari sekali sampai diperoleh kesepakatan antara pengembang dengan pengguna.

- Rekayasa produk

Hasil desain cepat yang disepakati antara pengembangan dengan pengguna selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam pengembangan perangkat lunak riil yang nantinya akan diserahkan ke user.

Perangkat lunak yang dihasilkan di akhir tahap keenam belum merupakan produk final. Produk ini (Prototipe I) membutuhkan pengujian dari aspek konten, antarmuka program dan kompatibilitas dengan pengguna. Pengujian konten diserahkan kepada pakar sains yakni guru sains di SMP N 1 Singaraja. Pengujian ketepatan antar muka program diserahkan kepada pakar TI yaitu staf di jurusan manajemen informatika dan tim ICT Undiksha. Kompatibilitas media dengan pengguna pengujiannya diserahkan kepada calon pengguna yaitu guru-guru sains di SMP N 1 Singaraja. Hasil pengujian ketiga aspek ini akan dijadikan dasar melaksanakan penyempurnaan untuk menghasilkan Prototipe II. Mekanisme ini potensial membentuk siklus pengembangan dan akan berakhir ketika sudah diperoleh media yang sudah memenuhi spesifikasi kebutuhan pengguna. Keseluruhan mekanisme pengembangan media pembelajaran digambarkan seperti pada gambar 2.

Gambar 2 Prosedur Pengembangan Media Pembelajaran

Penyusunan modul mengikuti alur seperti ditunjukan pada gambar 3. Langkah pertama yang dilakukan dalam penyusunan modul adalah menetapkan peta pikir yang mencatat konten yang akan dimuat dalam modul. Peta pikir ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa tulisan mengikuti sistematika penulisan sebuah modul untuk menghasilkan draf modul. Draf modul ini dimintakan evaluasi dari sisi konten dan tipologi. Evaluasi konten akan diserahkan kepada pakar dari guru sains SMP N 1 Singaraja. Sedangkan evaluasi tipologi diserahkan kepada pakar bahasa indonesia.

Gambar 3 Alur Pengembangan Modul

Hasil evaluasi masing-masing pakar ini digunakan sebagai dasar menyempurnakan modul yang sudah dihasilkan sebelumnya.

Petunjuk teknis merupakan bantuan yang sifatnya cenderung opsional terkait dengan langkah-langkah penggunaan media kolaboratif dalam pembelajaran. Media pembelajaran yang dihasilkan yakni: situs, modul dan petunjuk teknis penggunaan media selanjutnya diujicobakan ke sekelompok siswa SMP N 1 Singaraja untuk meminta respon mereka terhadap kedua media pembelajaran tersebut.

3.5 Instrumen Penelitian

Instrumen yang dibutuhkan dalam penelitian ini secara garis besar dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (i) instrumen untuk penilaian web site, (ii) instrumen untuk penilaian modul, dan (iii) instrumen untuk penilaian respon siswa. Hubungan antara objek penelitian, sumber dan instrumennya dipaparkan dalam tabel 1 berikut.

Tabel 1 Hubungan Antar Obyek, Sumber Dan Instrumen

OBYEK PENELITIAN

SUMBER

INSTRUMEN PENELITIAN

Web site

- Reliabilitas media

Pakar TI :

staf jurusan manajemen informatika & tim ICT Undiksha

- Pedoman penilaian program

- Kemudahan penggunaan

- Pedoman wawancara

- Portable

- Autoritas pengguna

- Unjuk Kerja

- Tampilan

- Kebenaran konten

Pakar sain:

guru sain SMP N 1 Sgr

- Pedoman penilaian

- Pedoman wawancara

Modul Pembelajaran

- Ketepatan konten

Pakar sain:

guru sain SMP N 1 Sgr

- Pedoman penilaian konten

- Pedoman wawancara

- Kebenaran tipologi

Pakar Bahasa Indonesia

Respon Siswa

Siswa SMAN 1

Singaraja

- Angket berskala Likert

3.6 Teknik Analisis Data

Data penelitian akan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan melalui intepretasi yang disertai dengan analisa yang akan digunakan untuk penyempurnaan prototipe media atau draf modul. Analisis kualitatif ini dilakukan untuk masing-masing kelompok data. Analisis kuantitatif digunakan untuk membangun arti dari data kuantitatif. Analisis kualitatif pada penelitian ini digunakan untuk evaluasi media dan modul pembelajaran. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui kategori respon siswa terhadap pembelajaran yang mengimplementasikan perangkat pembelajaran kolaboratif.

Analisis kuantitatif untuk respon siswa didasarkan pada nilai Mean Ideal (Mi) dan standar deviasi ideal (Sdi) dengan formula sebagai berikut.

Mi = ½ (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal)

Sdi = 1/6 (skor tertinggi ideal + skor terendah ideal)

Kedua nilai ini akan digunakan untuk menyusun kelompok kategori respon siswa melalui pedoman konversi berikut.

Mi + 1,5 Sdi £ Skor ® Sangat aktif

Mi + 0,5 Sdi £ Skor < style=""> ® Aktif

Mi - 0,5 Sdi £ Skor < style=""> ® Cukup aktif

Mi - 1,5 Sdi £ Skor < style=""> ® Kurang aktif

Skor < style=""> ® Sangat Kurang aktif

3.7 Indikator Kinerja

Sasaran utama dari pelaksanaan penelitian ini adalah mendukung tersedianya beragam sumber pembelajaran yang nantinya dapat dijadikan sebagi sumber alternatif pembelajaran jenjang SMP, khususnya untuk materi sain. Dengan demikian indikator kinerja penelitian ini seperti dipaparkan pada tabel 2.

TABEL 2 INDIKATOR KINERJA

Output

Outcome

Cara pengukuran Outcome

a. Web site pembelajaran sain utuk jenjang Pendidikan Dasar

b. Modul pembelajaran sain utuk jenjang Pendidikan Dasar

a. Adanya peningkatan kualitas layanan pembelajaran sain sehingga pemahaman siswa terhadap materi tersebut juga dapat ditingkatkan.

b. Terjadinya peningkatan motivasi internal melalui peningkatan kualitas iklim pembelajaran yang lebih kondusif di kalangan siswa

a. Observasi

b. Indeks kepuasan siswa dan guru, dalam kegiatan pembelajaran

DAFTAR PUSTAKA

Barr A. & Feigenbaum, E. 1981, The Handbook of Artificial Intelligence Vol 1.

Candiasa I Made, 2005, Media Pembelajaran, makalah disajikan pada diklat Pengembangan Profesi Jabatan Fungsional Guru di Negara.

Candiasa I Made, 2005, Pengelolaan Kelas, Makalah disajikan di Program Studi Teknologi

Candiasa I Made, 2006, Pendidikan Berbhineka, Orasi Pengenalan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Matematika Terapan IKIP Negeri Singaraja.

Eko Prasetiyo, 2006, Guru: Mendidik itu Melawan!, Resist Book, Yogyakarta

Harina Yuhetty, 2002, ICT and Education in Indonesia, http://gauge.u-gakugei.ac.jp diakses tanggal 30 Oktober 2006

Lopez, Antonio M. & Donlon, James, 2001, Knowledge Engineering and Education, Educational Technology Volume XLI Number 3

Michaelson, R., Michie & Boulanger, A., 1985, The Technology of Expert Systems, Byte.

Najamuddin dan haryanti, 2006, SIMPATI, Sarana Pasti Meraih Prestasi, CV Grahadi, Surakarta

Perry E. William, 1988, A Structured Approach to System Testing, Second Edition, QED Information Sciences, Inc., United State of America

Siahaan, Sudirman. 2002. “Studi Penjajagan tentang Kemungkinan Pemanfaatan Internet untuk Pembelajaran di SLTA di Wilayah Jakarta dan Sekitarnya” dalam Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun Ke-8, No. 039, November 2002. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan-Departemen Pendidikan Nasional.

Wadi D Haddad & Sonia Jurich, 2006, ICT For Education: Potential and Potency, http://www.unesco.org/education , diakses tanggal 10 Agustus 2006

Witarto, Arief B, 2003, BIOINFORMATIKA: Mengawinkan Teknologi Informasi Dengan Bioteknologi Trendnya Di Dunia Dan Prospeknya Di Indonesia, makalah disampaikan dalam Seminar Teknologi Informasi - MIFA, Bogor , 9 Januari 2003.

Tidak ada komentar: